Khutbah Jumat: Perkara-Perkara yang Menyebabkan Celaka
Khutbah Pertama I
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْكَرِهَ الْمُشْرِكُونَ. أَشْهَدُ أن لا إله إلا الله وحده لا شريكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللهُمَّ صَلِّ وَسَلَّم على خاتم الأنبياء والمُرْسَلِينَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْن
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Mengawali khutbah Jum’at pada kesempatan mulia kali ini, khatib mengajak kepada seluruh jamaah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Marilah kita tingkatkan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan sebenar-benarnya takwa. Bertakwalah dengan
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pesan penting tentang ketakwaan ini wajib disampaikan oleh setiap khatib karena menjadi salah satu rukun dalam khutbah Jumat. Artinya, jika tidak menyampaikan wasiat tentang takwa, maka tidak lengkaplah rukun khutbah Jumat yang bisa berdampak kepada tidak sahnya rangkaian shalat
Jumat yang dilakukan. Wujud ketakwaan ini adalah dengan patuh menjalankan perintah Allah dan ikhlas meninggalkan larangan-larangan-Nya. Jika ketakwaan sudah terpatri dalam diri setiap kita, maka insyaallah kita mampu menjaga keimanan dan keislaman kita dengan kuat. Ketakwaan, keimanan, dan keislaman merupakan paket lengkap sebagai modal dalam mengarungi kehidupan dunia agar senantiasa tetap di jalan Allah swt. Pesan ini sering disampaikan para khatib dalam khutbahnya melalui ayat Al-Qur’an Surat Ali Imran: 102
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.”
Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Dalam Kitab Nashoihul Ibad, disebutkan mengenai Perkara-perkara yang Menyebabkan Celaka
وعن ابراهيم النخعي إنما هلك من هلك قبلكم بثالث خصال: بفضول الكالم وفضول.الطعام وفضول المنام
“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu itu celaka hanya karena disebabkan tiga perkara, yaitu bicara yang berlebihan, makan yang berlebihan, dan terlalu banyak tidur.”Pertama, perkara yang menyebabkan celaka adalah banyak bicara. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikatakan
إذا قلت لصاحبك أنصت والإمام يخطب يوم الجمعة فقد لغوت
Artinya: “Apabila kamu berkata kepada temanmu “diamlah” pada hari Jumat, sementara imam sedang berkhutbah, maka engkau telah berbuat tiada guna.” [HR al-Bukhari].
Melalui hadits ini, kita diingatkan untuk menjadi pribadi yang bisa menjaga diri untuk tidak banyak berbicara dan memahami situasi dan kondisi di mana, kapan, dan dengan siapa kita berbicara. Hal ini penting kita ingat dan aplikasikan bukan hanya pada saat khatib sedang menyampaikan khutbah saja, namun juga dalam aktivitas interaksi dengan orang lain dalam kehidupan kita sehari-hari.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullahKecenderungan manusia memang suka didengarkan daripada mendengarkan. Kita bisa amati bersama dalam sebuah forum bisa dipastikan ada saja orang yang mendominasi pembicaraan dan tidak mau mengalah dengan pendapatnya. Ketika menanggapi pembicaraan orang lain, ia pun cenderung mengedepankan ke-aku-annya dengan menonjolkan diri dengan apa yang dimilikinya. Banyak orang yang dalam sebuah forum masih saja tidak memahami orang lain. Sebaliknya, ia selalu ingin dipahami oleh orang yang diajak berbicara. Tentu ini manusiawi. Namun jika kadarnya terlalu sering malah akan menjadikan kontraproduktif dan mengakibatkan dampak negatif dalam interaksi dan komunikasi. Jika komunikasi tidak berimbang dan tidak berlangsung dengan baik, maka orang lain akan bosan dan tidak menanggapi apa yang sedang dibicarakan.Imam al-Lu’lui mengatakan dalam syair Adabut Thalab:
وَفِي كَثِيْرِ الْقَوْلِ بَعْضُ الْمَقْتِ
Artinya: “Dalam banyaknya bicara dapat menimbulkan sebagian kebencian.”
Sehingga, di sinilah pentingnya keseimbangan dalam berbicara. Ada kalanya kita berbicara, namun ada kalanya kita mendengarkan. Kita perlu renungkan bahwa Allah swt menciptakan telinga lebih banyak dari mulut. Allah memberi karunia dua telinga di bagian kepala sebelah kiri dan kanan. Sementara mulut diciptakan oleh Allah swt satu buah. Hal ini sebenarnya memiliki hikmah yang mendalam bahwa kita diingatkan untuk lebih banyak mendengar daripada banyak berbicara. Saat berbicara pun, kita harus memperhatikan dengan siapa kita berbicara. Kita harus bisa memahami gerak- gerik, karakter, tingkat pemahaman dari orang yang diajak berbicara dan mengedepankan akhlakul karimah, tidak sombong dan tidak membangga-banggakan diri. Kita juga diingatkan untuk selalu introspeksi terhadap kekurangan diri dan menanggalkan sikap senang mengoreksi kekurangan- kekurangan orang lain.
Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi mencatat sebuah riwayat tentang Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani yang menyampaikan 4 pesan mendalam:Pertama, Ketika kamu melihat orang yang lebih tua darimu, katakanlah pada dirimu sendiri: ‘Orang ini telah mendahuluiku dengan iman dan amal sholeh maka dia lebih baik dariku.’ Kedua, Ketika kau melihat orang yang lebih muda darimu, katakanlah: ‘Aku telah mendahuluinya melakukan dosa dan maksiat, maka dia lebih baik dariku.’ Ketiga, Ketika kau melihat teman-temanmu memuliakan dan menghormatimu, katakanlah: ‘Ini karena kualitas kebajikan yang mereka miliki.’Keempat, Ketika kau melihat mereka kurang (memuliakanmu), katakan: ‘Ini karena dosa yang telah kulakukan.” Dari riwayat ini kita diajarkan untuk introspeksi dan menilai diri sendiri sebelum menilai orang lain. Bisa jadi yang menilai tidak lebih baik dari yang dinilai. Kita diajarkan untuk berbaik sangka (husnudzan) sebagai jalan pembuka pendewasaan spiritual dan menghadirkan pahala dari Allah swt.
Dari riwayat ini kita diajarkan untuk introspeksi dan menilai diri sendiri sebelum menilai orang lain. Bisa jadi yang menilai tidak lebih baik dari yang dinilai. Kita diajarkan untuk berbaik sangka (husnudzan) sebagai jalan pembuka pendewasaan spiritual dan menghadirkan pahala dari Allah swt.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, terkait dengan komunikasi Rasulullah saw pun telah mengingatkan umat Islam untuk memiliki tata krama dan etika. Dalam haditsnya, kita diingatkan untuk benar-benar berpikir matang pada apa yang akan kita ucapkan. Kita harus mempertimbangkan manfaat serta mudarat, keuntungan dan kerugian, serta apakah akan berdampak negatif atau positif. Dalam haditsnya Rasulullah bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya: “Siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim).
Lisan kita ibarat pisau yang bermanfaat jika digunakan untuk hal-hal yang baik. Namun sebaliknya akan membawa bencana jika digunakan dengan tidak bijak. Bukan hanya melukai diri sendiri, namun bisa melukai orang lain. Bukan hanya luka yang bisa sembuh dalam waktu pendek, namun luka dalam hati yang bisa saja terus bersemayam dalam hati. Rasulullah mengingatkan dalam haditsnya:
Artinya: “Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.” (HR. Thabrani).
Rasulullah juga mengingatkan:
Artinya: “Betakwalah kalian di manapun kalian berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan yang mana itu bisa menghapusnya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlak yang baik” (HR Imam At-Turmudzi)
Hadirin yang dimuliakan Allah.
Kemudian Perkara yang menyebabkan celaka selanjutnya adalah makan berlebihan. Di dalam surat al-A’raf ayat 31, Allah berfirman:
۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
Artinya: Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.
Ayat di atas larangan bagi manusia untuk tidak berlebih-lebihan dalam makan dan minum. Konsumsilah makanan secukupnya dan jangan membuang-buang makanan. Kenapa kita dilarang berlebih-lebihan dalam makanan? Tentu ini ada hikmahnya. Tidak ada satu pun larangan dan perintah Tuhan yang melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia.
Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah
Kalau diperhatikan, selain adanya manfaat sosial, supaya kita bisa berbagi makanan antara satu sama lainnya, mengonsumsi makanan dan minuman secara seimbang berdampak baik terhadap kesehatan manusia. Biasanya, orang yang makan dan minum berlebihan, tubuhnya tidak akan kuat dan rusak. Karena dia mengonsumsi sesuatu yang tidak proporsional dengan kondisi tubuhnya. Selain kesehatan, membeli makan dan minuman secara berlebih-lebihan juga berdampak buruk terhadap lingkungan. Kalau kita membeli makanan secara berlebih-lebihan, sisa makanan itu pada akhirnya akan membuat lingkungan menjadi rusak. Kalau satu orang yang menyisakan makanan atau membuang makanan mungkin tidak akan masalah, tapi bayangkan kalau jutaan orang membuang makanan setiap harinya.
Ibnu ‘Âsyûr berpendapat dalam kitabnya at-Tahrîr wat-Tanwîr, ayat di atas terdapat prinsip-prinsip pemeliharaan kesehatan, khususnya mengenai makanan. Perintah di atas berupa anjuran dan tuntunan untuk tidak berlebihan dalam makan dan minum, bukan sebagai bentuk pengharaman. Hal ini disebabkan pada ayat berikutnya yaitu 32, Allah SWT menegaskan tidak boleh seseorang mengharamkan karunia-Nya yang telah diberikan dan rezeki-Nya yang baik-baik.
Ukuran berlebihan pada ayat tersebut menurut Ibnu ‘Âsyûr adalah maslahat untuk setiap orang. Lebih jelas, ukurannya adalah keseimbangan seperti diperintahkan dalam surat Al-A‘rāf ayat 29, berikut penggalan firman-Nya:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ اَمَرَ رَبِّيْ بِالْقِسْطِۗ
“Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil….”
Pesan tersirat dalam surat Al Araf ayat 31 yaitu makan dan minum terlalu sedikit atau banyak, dapat berpengaruh pada kesehatan seseorang. Jika makan dan minum terlalu banyak, maka tubuh akan menampung kelebihan kalori yang akan mengakibatkan berat badan naik dan menderita obesitas hingga kematian. Demikian pula, jika asupan makan dan minum terlalu sedikit akan berakibat kurangnya gizi dan mudah terserang penyakit.
Ayat Al-Qur’an tersebut diperkuat dengan hadits Nabi bahwa orang yang berbuat al-isrâf (sikap berlebihan), salah satunya bermula dari keinginan menuruti nafsu makannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من السْراف أن تأكل ما اشتهيت
Diriwayatkan dari Anas Malik RA, Rasulullah SAW bersabda, “Salah satu ciri berlebihan (al-isrāf) Anda makan setiap yang Anda inginkan.” (HR Ibnu Mâjah No 3345 dari Anas bin Malik)
Perintah dan anjuran agama yang berkaitan dengan makan tentunya tidak hanya disuarakan oleh Al-Quran. Rasulullah saw juga sangat memperhatikan tentang makan. Hal ini bukan berarti beliau orang yang rakus terhadap makanan, akan tetapi memperhatikan tentang kriteria makanan dan juga etika-etika ketika makan. Tentunya, selain dengan cara menyampaikan kepada para sahabat dan keluarganya, beliau juga mempraktikkannya langsung agar dapat dicontoh oleh mereka.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt
Rasulullah saw merupakan sosok yang sangat menjaga diri dari memakan sesuatu yang haram. Beliau menegaskan bahwa sesuatu yang halal dan haram itu jelas keterangannya dalam agama. Oleh sebab itu, beliau sangat mewanti-wanti umatnya untuk tidak memakan sesuatu yang haram. Ancaman terkait memakan makanan yang haram bahkan pernah beliau utarakan kepada salah satu sahabatnya yang bernama Ka’ab bin ‘Ujrah:
يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Artinya: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali Neraka lebih berhak atasnya.” (Hadits riwayat Imam al-Tirmidzi).
Makanan yang haram tidak lain hanya akan membawa suatu bahaya bagi kita. Kekuatan yang lahir dari makanan yang haram cenderung akan mengajak tubuh kepada kemaksiatan. Makanan haram yang kita konsumsi akan berubah menjadi darah dan akan mengalir terus di dalam tubuh kita, sedang setiap hari kita beribadah kepada Allah dengan tubuh ini. Lebih parah lagi, na’udzubillah, doa yang kita panjatkan kepada Allah akan tertolak sebab mengonsumsi makanan haram tersebut. Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah saw, Selain tentang kehalalan dan keharaman makanan, Rasulullah juga mencontohkan kepada umatnya tentang etika-etika yang dapat kita ikuti. Yang pertama adalah sebelum makan maka hendaknya membaca lafaz bismillah terlebih dahulu.
Rasulullah pernah menasihati Umar bin Abu Salamah:
يَا غُلَامُ سَمِِّ اَّللَّٰه وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِى بَعْدُ
Artinya: “Wahai Anakku, bacalah ‘bismilillah’, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu.” Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu.” (Hadits riwayat Imam al-Bukhari).
Kita juga disunnahkan untuk memakan makanan yang ada di depan kita atau di dekat kita terlebih dahulu. Hal ini tentunya merupakan bagian dari adab ketika sedang makan bersama, sehingga tidak mengganggu orang lain yang sedang makan. Selain itu, kita juga disunnahkan untuk makan dengan tangan kita. Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah, Etika dalam makan selanjutnya adalah jangan makan berlebihan. Berlebihan di sini di antaranya adalah makan dengan porsi yang banyak dan berlebihan. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa sesuatu yang berlebihan tidaklah baik. Makan berlebih akan berpengaruh negatif kepada tubuh kita, selain itu akan membuat kita malas untuk bergerak. Nabi Muhammad pernah bersabda:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اَّللِّٰ صَلَّى اَّللُّٰ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا مَا لَمْ يُخَالِطْهُ إِسْرَافٌ أَوْ مَخِيلَةٌ
Artinya: “Dari ‘Amru bin Syu’aib dari Ayahnya, dari Kakeknya, dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Makan dan minumlah, bersedekah dan berpakaianlah kalian dengan tidak berlebih-lebihan atau kesombongan’.” (HR Imam Ibnu Majah).
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah
Kesombongan dalam makan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari saat ini. Di era semua orang bermain media sosial, maka kesombongan dengan memamerkan makanan mungkin saja dapat terjadi dengan mudah. Tentunya, mengambil foto makanan dan meng-upload-nya di media sosial memang bukan suatu tindakan yang dilarang selama tidak ada
unsur sombong dan pamer kepada orang lain. Selain itu, adab dan etika yang diajarkan Rasulullah kepada kita adalah tidak mencela makanan apabila kita tidak menyukainya. Mencela makanan memang tidak akan membuat makanan itu berubah menjadi sesuatu yang mencelakakan kita. Akan tetapi jamaah sekalian, mencela makanan akan berujung kepada orang yang memberikannya kepada kita atau memasakkan makanan itu untuk kita. Perihal larangan mencela makanan telah diingatkan oleh Nabi dari sahabat Abu Hurairah:
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اَّللُّٰ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun tidak memakannya“. (HR Imam al-Bukhari).
Selanjutnya, etika dan adab yang patut kita amalkan dari sunnah Nabi ketika makan adalah membaca doa dan bersyukur kepada Allah dengan memuji-Nya setelah selesai makan. Dalam sebuah hadits riwayat Anas bin Malik, Nabi bersabda:
إِنَّ اَّللَّٰهِ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الَأكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum.” (HR Imam Muslim).
Hadirin Jama’ah Jum’at yang berbahagia
Kemudian yang terakhir, perkara yang menyebabkan celaka adalah salah satu kebiasaan yang sering menjadi penyebab kelalaian dalam menjalankan kewajiban, yaitu terlalu banyak tidur, sehingga masuk ke dalam perkara- perkara yang menyebabkan celaka.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan tidur sebagai salah satu tanda kekuasaan-Nya. Firman Allah:
وَمِنْ ٰاٰيتِهٖ مَنَامُكُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاۤؤُكُمْ مِِّنْ فَضْلِ ٖ ه اِنَّ فِيْ ٰذلِكَ َٰلاٰيتٍ لِِّقَوْمٍ يَّسْمَعُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari serta usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (QS. Ar-Rum: 23)
Namun, tidur yang berlebihan bisa menjadi penyebab kemalasan, melalaikan tugas ibadah, dan menjauhkan diri dari produktivitas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Orang yang banyak tidur di malam hari akan kehilangan banyak kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Terlalu banyak tidur juga dapat menyebabkan seseorang lalai dari salat Subuh, melewatkan waktu-waktu utama untuk beribadah, dan merugikan diri sendiri. Padahal, waktu pagi adalah waktu yang diberkahi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Siapapun yang hidup di dunia tentu pernah merasakan nikmat dan manfaatnya tidur. Tidur memiliki peran yang sangat urgen bagi kesehatan tubuh manusia. Ketika seseorang tidur, tubuhnya akan memperbaiki diri untuk kesehatan fisik dan mental, sehingga setelah bangun tidur serasa lebih segar dan berenergi.
Orang yang kebutuhan tidurnya kurang, atau istilah lainnya mempunyai hutang tidur, maka akibatnya akan melahirkan rasa lelah, sering cemas dan gangguan mood atau konsentrasi. Sebaliknya, orang yang terlalu banyak tidur akan malas beribadah dan berat untuk melakukan kebaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengkhawatirkan akan menjangkitnya penyakit tersebut (banyak tidur) kepada umatnya. Sabdanya,
أخشى ما خشيتُ على أمتى: كَبِرُ البطنِ, ومُداوَمَةُ النوم والكسَلُ وضَعْفُ اليقيــنِ
Artinya: Hal-hal yang paling aku khawatirkan melanda umatku ialah besar perut, banyak tidur, pemalas, dan lemah keyakinan. (HR Daruquthni dari Jabir)
Tidur memang nikmat yang diberikan oleh Allah, tetapi nikmat ini harus digunakan dengan bijak. Jangan sampai kita terlalu banyak tidur sehingga melalaikan kewajiban kita kepada Allah dan sesama.
Tidur berlebihan juga berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental. Orang yang terlalu banyak tidur sering merasa lemas, kurang fokus, dan tidak produktif. Islam mengajarkan kita untuk hidup seimbang, termasuk dalam urusan tidur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri membagi
waktunya dengan sangat baik: sebagian untuk ibadah, sebagian untuk keluarga, dan sebagian untuk istirahat.
Pesan Penting: Jangan biarkan waktu kita terbuang sia- sia dengan sesuatu perkara yang berlebih-lebihan dan dapat menyebabkan celaka pada diri kita. Marilah kita gunakan waktu untuk beribadah, belajar, bekerja, dan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga kita senantiasa diberikan keberkahan waktu, kesehatan, dan kekuatan untuk beribadah. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اَلله العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
الْحَمْدُ لَِِّلّٰهِ وَالْحَمْدُ لَِِّلّٰهِ ثُمَّ الْحَمْدُ لَِِّلّٰ. أَشْهَدُ أنْ لآ إلَهَ إِلَّا اُلله وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَا نَبِيِّ بعدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِِّ وَسَلِِّمْ عَلَى نَبِيِِّنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ
أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اِلله فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اُلله تَعَالَى: إِنَّ اَلله وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِِّ، ٰيأَ يُّها الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِِّ عَلَى سَيِِّدَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِِّدَنَا مُحَمَّدٍ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ
وَاْلمُسْلِمَاتِ، اَلَْأحْياءِ مِنْهُمْ وَاْلَامْوَاتِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلَاءَ وَاْلوَبَاءَ والقُرُوْنَ وَالزَّلَازِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا
خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا
اتِِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَاَلْحَمْدُ ِ هللِّٰ رَبِِّ الْٰعلَمِيْنَ عٍبَادَ اِلله، إِنَّ اَلله يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلِحْْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اَلله اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اِلله أَكْبَرْ